Pages

Saturday, June 26, 2021

Analisis Tekstual dalam Jurnalisme



MUNGKIN ada yang pernah alami kesulitan dalam memulai sebuah penelitian terkait isi media? Itu hal yang wajar untuk mahasiswa. Saya pun dalam beberapa kasus harus kembali buka beberapa buku metodologi untuk memastikan cara yang saya pilih sudah tepat untuk menemukan jawaban penelitian yang ingin dilakukan. Secara umum ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan penelitian isi media: kuantitatif dan kualitatif. Pada artikel singkat ini saya ingin berbagi tentang pendekatan yang sifatnya kualitatif.

Seperti yang sudah pernah saya paparakan sebelumnya (lihat Ragam Desain Penelitian Kualitatif), penelitian kualitatif terkait isi pesan media dapat diungkap dengan menggunakan metode analisis semiotika, framing, dan wacara. Beberapa ahli kemudian menambahkan satu metode lagi dengan apa yang mereka sebut sebagai “analisis narasi”. Tulisan ini ingin mengulas sisi umum dari pendekatan kualitatif khususnya dalam konteks penelitian jurnalisme. Saya terinspirasi untuk menulisnya setelah membahas ulasan John L. “Jack” Morris bertajuk Textual Analysis in Journalism (2003).

Analisis tekstual oleh Frey, Botan, Friedman dan Kreps (1991) didefinisikan sebagai sebuah metode dimana para peneliti komunikasi ingin menggambarkan, menafsirkan, dan mengevaluasi karakteristik dari pesan yang terdokumentasi (recorded). Secara umum, menurut Morris ada dua tujuan dari analisis tekstual dalam praktik jurnalisme. Pertama, untuk mengkaji bahasa yang digunakan para sumber dalam topik atau isu tertentu. Kedua, untuk mengkaji bahasa jurnalistik yang digunakan untuk memperbaiki teknik penulisan para jurnalis. Morris menyimpulkan, menurut Frey dkk, analisis tekstual juga mengkaji bagaimana makna bergerak dari pewarta kepada khalayak. Termasuk melihat kaitan antara teks dengan beberapa variabel yang mendahuluinya.

Morris menyebut tiga format yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi teks jurnalisme: laporan (report), kisah (story), dan esai (essay). Ciri teks yang masuk kategori laporan adalah jika ia disajikan dengan gaya piramida terbalik. Sebaliknya, format kisah adalah teks yang disusun dengan gaya piramida tegak. Teks bentuk ini selalu diawali dengan narasi deksripsi. Semacam paragraf yang memuat suasana atau adegan (scene) terkait dengan topik yang akan dibahas. Setelah itu dilanjutkan dengan bagian yang memuat aspek-aspek emosional seperti konflik atau keteganganan. Semuanya disajikan secara kronologi atau alur plot tertentu yang dapat membantu khalayak untuk memahami keseluruahan isi teks.

Format kisah (story) hampir mirip dengan esai (essay). Bedanya, esai disajikan dalam format batang. Keseluruhan tubuh teks berisi informasi yang saling terkait dan sama pentingnya. Pada bagian awal, teks dengan format esai dibuka dengan asumsi atau ide awal yang melandasi teks. Semacam pernyataan inti yang kemudian dipaparkan secara lebih lanjut dengan memberikan sejumlah argumentasi pendukung ide utama tadi. Hingga pada bagian akhir, teks akan menyajikan kembali pernyataan utama yang pada menjadi kesimpulan paparan dalam teks.

Morris juga menyebutkan versi Frey dkk dalam merumuskan lima aspek media kritis yang biasa digunakan dalam menganalisis teks: Aristotelian, aliran (genre), sejarah, dramatis, dan tema fantasi. Sayang sekali lima aliran ini tidak dijelaskan dengan lebih detail. Dia hanya sekilas menjelaskan masing-masing aspek kritis tersebut. Misalnya aliran Aristotelian yang lebih terfokus pada aspek formal dan logis dari teks. Atau aliran dramatis yang melihat teks dari sisi teatrikal seperti penokohan, cara berkisah, atau tindakan (act) yang tersirat di dalamnya. Tampaknya Morris sengaja menyisakan bagian ini untuk pekerjaan rumah kita.***

No comments:

Post a Comment